Teknik dan strategi konseling apa yang unik dari pendekatan,
Firman MS (2008) kebudayaan merupakan pola kehidupan bersama masyarakat yang
bersifat dinamis untuk memenuhi kebutuhannya. Kebudayaan yang dibawa klien dari masyarakatnya akan membatasi serta membolehkan mereka
melakukan sesuatu yang dianggap pantas
dan tidak pantas. Klien ditentukan oleh sistem nilai budaya mereka
masing-masing, sistem nilai yang telah
dibangun oleh klien melalui proses sosialisasi dengan lingkungannya, berfungsi
mengontrol serta mengarahkan mereka berperilaku. Semua ini menuntut untuk
terlaksananya konseling lintas budaya
diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang dialami oleh klien. Layanan
konseling tidak dapat dilepaskan dari kondisi
sosial budaya klien itu sendiri.sebelum layanan konseling diberikan,para
konselor diharapkan telah memahami berbagai kondisi sosial buday klien.
Beberapa
keterampilan yang berkaitan dengan konseling multibudaya mencakup isu konkret
dan praktis. d’Adenne dan Mahtani (1989) membahas diperlukannya peninjauan
kembali bersama klien tentang penggunaan
nama dan alamat yang benar, memutuskan
untuk menggunakan penerjemah atau tidak dan menegosiasikan perbedaan dalam
komunikasi nonverbal serta batasan waktu. Di balik isu nyata ini terdapat
faktor lebih samar yang diasosiasikan dengan strategi terapeutik umum atau
mindset yang digunakan oleh konselor. Prayitno (1999) sesuai dengan dimensi
kesosialannya, individu-individu saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri.
Menurut Pedersen (1980)
dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki 3 elemen yaitu:
1.
Konselor dan klien berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya
/tempat klien
2.
Konselor dan klien berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya/ tempat konselor dan
3.
Konselor
dan klien berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersen, Lonner dan Draguns (dalam
Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya
adalah
1.
Latar budaya yang dimiliki oleh konselor
2.
Latar budaya yang dimiliki oleh klien
3.
Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan
dihadapi selama konseling
4.
Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling
,yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat dimana
konseling itu dilaksanakan.
Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor
lintas budaya yang efektif adalah konselor
1.
Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya
tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia itu berbeda
2.
Sadar bahwa tidak ada teori konseling yang
netral secara politik dan moral
3.
Memahami bahwa kekuatan sosiopolitik akan
mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
4.
Dapat berbagai pandangan tentang dunia klien dan
tidak tertutup dan
5.
Jujur dalam menggunakan konseling eklektik,
mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan
pengalaman dan gaya hidup mereka.
Uraian diaatas akan dijelaskan sebagai
berikut
Memahami
nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali
bahwa tiap manusia berbeda, dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor
harus sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Sadar bahwa tidak ada
teori yang netral secara poitik dan moral, dalam pelaksanaan konseling konselor
harus sadar bahwa teori-teori konseling yang diciptakan saat ini adalah suatu
teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing-masing atau dapat
dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari
pengalaman pribadi masing-masing penemunya. Memahami bahwa kekuatan
susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam
kelompok. Dapat berbagai pandangan nya
tentang dunia klien dan tidak tertutup
Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang
perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda. Dalam melaksanakan
konseling dengan klien, konselor harus
sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Konselor harus sadar
bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari
nilai-nilai yang dibawa dari lingkungan dimana dia berada, juga nilai-nilai
yang sesuai dengan tugas perkembangannya.
Karakteristik atau ciri-ciri khusus dari konselor yang
melaksanakan layanan konseling lintas budaya. Sue (dalam George &
Cristiani:1990)
1.
Konselor lintas budaya sadar terhadap
nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi-asumsi terbaru tentang perilaku
manusia, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya seharusnya
sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi.
Konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang
mempunyai nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya.
2.
Konselor lintas budaya sadar terhadap
karakteristik konseling umum. Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya
sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling.
Adapun faktor-faktor lain secara signifikan mempengaruhi
proses konseling lintas budaya adalah :
1.
Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin,
umur tempat tinggal
2.
Variabel status seperti pendidikan, politik dan
ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo
& Gonsalves, 1980;Canary & Levin dalam Chinapah, 1997;Speight dkk,
1991; Pedersens,1991;Lipton dalam Westbroo & Sedlacek, 1991).
Dalam proses konseling selalu ada
komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua akan membantu klien
dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien.
Gladding, Samuel T.
2012. Konselig Profesi yang
Menyeluruh. Jakarta : 2012
ISU KONSELING LINTAS BUDAYA
Isu Pertama, yang menjadi perhatian konselor multikultural
di Amerika terutama mereka yang memiliki sudut pandang emik, adalah dominannya
teori-teori yang berdasarkan nilai budaya Eropa. Beberapa kepercayaana dominan
dari eropa adalah nilai-nilai indiviual, pemecahanan masalah yang b erorientasi
pada tindakan, etik akerja, metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang
ketat (Axelson, 1999)
Isu Kedua dalam konseling multikulturall adalah sensitifitas
terhadap budaya secara umum dan khusus. Pederson (1982) percaya bahwa sangat
penting bagi konselor untuk sensitif terhadap 3 area berikut dalam isu budaya:
1.
Pengetahuan akan cara pandang klien yang berbeda
budaya
2.
Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang
dan b agaimana seseorang merupakan produk dari pengkondisian budaya
3.
Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan
klien yang berbeda buadaya.
Ketiga
Area ini telah digunakan AMCD sebagai
dasar untuk mengembangklan Multicultural Counseling Competencies pada tahun
1992 dan pengoperasiannya (Aredondon et,al.,1996). Sebelum perkembangan ini,
pederson (1997,1978) telah terlebih dahulu mengembangkan model segitiga untuk
membantu konselor mencapai pengertian yang lebih dalam terhadap budaya secara
umum.
Isu
ketiga dalam konseling multikultural adalah memahami cara kerja sistem budaya
dan pengaruhnya terhadap tingkah laku. Konselor
yang memiliki pengethauan dan
kesadaran tentang sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota
dari kelompok budaya tertentu. Konselor semacam ini mampu berbagi cara pandang
yang sama dengan klien, membuat intervensi yang lebih baik dan pantas, tetapi
tetap mempertahankan integritas personal. Tipe sensitifitas budaya semacam ini
membutuhkan “Partisipasi aktif dari Pihaki Praktisi” termasuk kesadran diri (
Brinson, 1996, p.201).
Isu
keempat dalam konseling multikultural adalah menyediakan layanan konseling
lintas budaya yang efektif. Sue (1978) membuat lima panduan untuk Konseling
lintas budaya yang efektif, yang masih aplikatif hingga sekarang:
1.
Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan
yang mereka pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan
diterima.
2.
Konselor menyadari kualitas dan tradisi dari
teori konseling yang umum dan bersifat kultural
3.
Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang
telah mempengaruhi kehidupan anggota kelompok minoritas
4.
Konselor mampu membagi cara pandang dari klien
dan tidak menanyakan keabsahannya
5.
Konselor benar-benar kreatif dalam praktik konseling
Isu
kelima dalam konseling multikultural adalah perkembangan dan penggunaan
teori-teori konseling. Bias kultural terjadi kepada konselor dari kalangan
mayoritas maupun minoritas ( Wendel, 1997) dan dulu telah masuk kedalam
teori-teori konseling.
Model
multikultural McFadden adalh perspektif lintas budaya yang berfokus pada tiga
dimensi utama dan harus dikuaasai konselor yaitu:
1.
Kultural-Historikal yakni konselor harus
menguasai pengetahuan akan budaya klien
psikososial yaitu konselor harus memahami etnik, ras,
performa,
No comments:
Post a Comment