Wednesday, April 2, 2014

KONSELING LINTAS BUDAYA DALAM PRAKTI


Teknik dan strategi konseling apa yang unik dari pendekatan, Firman MS (2008) kebudayaan merupakan pola kehidupan bersama masyarakat yang bersifat dinamis untuk memenuhi kebutuhannya. Kebudayaan yang dibawa klien  dari masyarakatnya  akan membatasi serta membolehkan mereka melakukan sesuatu  yang dianggap pantas dan tidak pantas. Klien ditentukan oleh sistem nilai budaya mereka masing-masing, sistem nilai  yang telah dibangun oleh klien melalui proses sosialisasi dengan lingkungannya, berfungsi mengontrol serta mengarahkan mereka berperilaku. Semua ini menuntut untuk terlaksananya konseling lintas budaya  diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang dialami oleh klien. Layanan konseling tidak dapat dilepaskan dari kondisi  sosial budaya klien itu sendiri.sebelum layanan konseling diberikan,para konselor diharapkan telah memahami berbagai kondisi sosial buday klien.
                Beberapa keterampilan yang berkaitan dengan konseling multibudaya mencakup isu konkret dan praktis. d’Adenne dan Mahtani (1989) membahas diperlukannya peninjauan kembali  bersama klien tentang penggunaan nama dan alamat yang benar,  memutuskan untuk menggunakan penerjemah atau tidak dan menegosiasikan perbedaan dalam komunikasi nonverbal serta batasan waktu. Di balik isu nyata ini terdapat faktor lebih samar yang diasosiasikan dengan strategi terapeutik umum atau mindset yang digunakan oleh konselor. Prayitno (1999) sesuai dengan dimensi kesosialannya, individu-individu saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri.
Menurut Pedersen (1980)  dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki 3 elemen yaitu:
1.       Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya /tempat klien
2.       Konselor dan klien berasal dari latar belakang  budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya/ tempat konselor dan
3.        Konselor dan klien berasal dari latar belakang  budaya yang berbeda, dan melakukan konseling  di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersen, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah
1.       Latar budaya yang dimiliki oleh konselor
2.       Latar budaya yang dimiliki oleh  klien
3.       Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling
4.       Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling ,yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat dimana konseling itu dilaksanakan.
Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor
1.       Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia itu berbeda
2.       Sadar bahwa tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral
3.       Memahami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
4.       Dapat berbagai pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup dan
5.       Jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Uraian diaatas akan dijelaskan sebagai berikut
                Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda, dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara poitik dan moral, dalam pelaksanaan konseling konselor harus sadar bahwa teori-teori konseling yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing-masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing-masing penemunya. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok.   Dapat berbagai pandangan nya tentang dunia klien dan tidak tertutup
Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda. Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus  sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai-nilai yang dibawa dari lingkungan dimana dia berada, juga nilai-nilai yang sesuai dengan tugas perkembangannya.
Karakteristik atau ciri-ciri khusus dari konselor yang melaksanakan layanan konseling lintas budaya. Sue (dalam George & Cristiani:1990)
1.       Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi-asumsi terbaru tentang perilaku manusia, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya.
2.       Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling umum. Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling.



Adapun faktor-faktor lain secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah :
1.       Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal
2.       Variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980;Canary & Levin dalam Chinapah, 1997;Speight dkk, 1991; Pedersens,1991;Lipton dalam Westbroo & Sedlacek, 1991).
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua akan membantu klien dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien.
Gladding, Samuel T.  2012. Konselig Profesi  yang Menyeluruh. Jakarta : 2012

ISU KONSELING LINTAS BUDAYA
Isu Pertama, yang menjadi perhatian konselor multikultural di Amerika terutama mereka yang memiliki sudut pandang emik, adalah dominannya teori-teori yang berdasarkan nilai budaya Eropa. Beberapa kepercayaana dominan dari eropa adalah nilai-nilai indiviual, pemecahanan masalah yang b erorientasi pada tindakan, etik akerja, metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat (Axelson, 1999)
Isu Kedua dalam konseling multikulturall adalah sensitifitas terhadap budaya secara umum dan khusus. Pederson (1982) percaya bahwa sangat penting bagi konselor untuk sensitif terhadap 3 area berikut dalam isu budaya:
1.       Pengetahuan akan cara pandang klien yang berbeda budaya
2.       Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan b agaimana seseorang merupakan produk dari pengkondisian budaya
3.       Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda buadaya.
Ketiga  Area ini telah digunakan AMCD sebagai dasar untuk mengembangklan Multicultural Counseling Competencies pada tahun 1992 dan pengoperasiannya (Aredondon et,al.,1996). Sebelum perkembangan ini, pederson (1997,1978) telah terlebih dahulu mengembangkan model segitiga untuk membantu konselor mencapai pengertian yang lebih dalam terhadap budaya secara umum.
Isu ketiga dalam konseling multikultural adalah memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku. Konselor  yang  memiliki pengethauan dan kesadaran tentang sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota dari kelompok budaya tertentu. Konselor semacam ini mampu berbagi cara pandang yang sama dengan klien, membuat intervensi yang lebih baik dan pantas, tetapi tetap mempertahankan integritas personal. Tipe sensitifitas budaya semacam ini membutuhkan “Partisipasi aktif dari Pihaki Praktisi” termasuk kesadran diri ( Brinson, 1996, p.201).
Isu keempat dalam konseling multikultural adalah menyediakan layanan konseling lintas budaya yang efektif. Sue (1978) membuat lima panduan untuk Konseling lintas budaya yang efektif, yang masih aplikatif hingga sekarang:
1.       Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan diterima.
2.       Konselor menyadari kualitas dan tradisi dari teori konseling yang umum dan bersifat kultural
3.       Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang telah mempengaruhi kehidupan anggota kelompok minoritas
4.       Konselor mampu membagi cara pandang dari klien dan tidak menanyakan keabsahannya
5.       Konselor benar-benar  kreatif dalam praktik konseling
Isu kelima dalam konseling multikultural adalah perkembangan dan penggunaan teori-teori konseling. Bias kultural terjadi kepada konselor dari kalangan mayoritas maupun minoritas ( Wendel, 1997) dan dulu telah masuk kedalam teori-teori konseling.
Model multikultural McFadden adalh perspektif lintas budaya yang berfokus pada tiga dimensi utama dan harus dikuaasai konselor yaitu:
1.       Kultural-Historikal yakni konselor harus menguasai pengetahuan akan budaya klien
psikososial yaitu konselor harus memahami etnik, ras, performa,

No comments:

Post a Comment